*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini
Wilayah Padang Lawas adalah salah satu
representasi wilayah Tanah Batak berbahasa Batak. Satu keutamaan wilayah Padang
Lawas dalam konteks sejarah zaman kuno karena banyaknya bukti kepurbakalaan
seperti prasasti dan candi. Dengan kata lain data wilayah Padang Lawas cukup
tersedia in-situ maupun sumber-sumber tertulis Tiongkok dan Eropa. Keutamaan
lainnya wilayah Padang Lawas secara geomorfologis adalah Minanga/Binanga sisi pantai
timur lebar terpendek pulau Sumatra (sisi lainnya di pantai barat Sumatra di Hapesong/Sangkunur).
Oleh karena lebar terpendek maka lalu lintas pantai barat dan pantai timur Sumatra
menjadi intens.
Selama ini studi kepurbakalaan umumnya
dilakukan dengan pendekatan studi arkeologis terutama terhadap tinggalan-tinggalan
yang terdapat di wilayah bersangkutan. Oleh karena bahasa juga dipandang
sebagai warisan yang masih eksis hingga masa kini, oleh para ahli linguistic juga
mengambil peran dalam studi-studi tentang zaman kuno. Demikian juga halnya atas
pertimbangan bahwa permukaan bumi mengalami perubahan (seperti erosi dan
sedimentasi akibat aktivitas gunung api atau cuaca) para ahli geologi juga
terlibat dalam kajian-kajian zaman kuno. Pada akhir-akhir ini atas pertimbangan
migrasi yang mengakibatkan terjadi percampuran populasi (mix-population) para
ahli genetika juga mengambil bagian dalam studi zaman kuno. Dalam hal ini
semakin banyak pendekatan studi yang diterapkan dalam memahami zaman kuno semakin
jelas ada sesuatu yang hilang dalam narasi sejarah yang ditulis. Dua topik yang
semakin kerap dipertanyakan adalah The Forgotten Motherland dan The Forgotten
Kingdoms.
Lantas bagaimana sejarah Padang
Lawas zaman kuno? Seperti disebut
di atas, wilayah Padang Lawas dalam konteks zaman kuno memiliki banyak
keutamaan dibandingkan wilayah yang lain. The forgotten motherland hingga the forgotten
kingdoms in Sumatra. Lalu bagaimana sejarah Padang Lawas tempo doeloe? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Riwayat Padang Lawas Zaman Kuno; The Forgotten
Motherland hingga The Forgotten Kingdoms in Sumatra
Sebelum membicarakan bahasa dan elemen peradaban
lainnya, satu pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah dari mana semua
populasi bermula? Lalu bagaimana peta geografi yang berlaku di zaman kuno?
Untuk menjawab pertanyaan bahwa sejarah seharusnya memiliki permulaan ada baiknya untuk memperhatikan
studi-studi para ahli genetika.
Di wilayah Indonesia yang sekarang, gambaran populasi bersifat homogen
secara genetic hanya ditemukan di wilayah Melanesia (Pasifik) yang dalam peta DNA.diberi
warna hijau. Di wilayah Alor sudah ada percampuran Melanesia dengan Austronesia
(warna hijau muda). Sebaliknya gambaran homogen Austronesia ditemukan di
Mentawai dan kemudian ada percampuran relative sedikit di Toraja. Sementara di
wilayah Jawa adalah gambaran ekstrim yang lain dimana terjadi percampuran
berimbang antara Austronedia dengam Austroasiatik (Indocina). Bagaimana dengan
di wilayah Sumatra? Di Sumatra gambaran eksrim yang lain dimana terdapat
campuran Austronesia yang dominan dengan berbagai asal usul lainnya (relative lebih
heterogen) karena ada elemen Indo Eropa, dan Dravida/India Selatan dan Hmong-Mien
(Mandarin/pantai timur Tiongkok),.Secara khusus di Tanah Batak ada elemen Sino-Tibetan (Tibet via Burma),
sedangkan Hmong-Mien (Mandarin/pantai timur Tiongkok) ditemukan di Melayu dan
Dayak.
Adanya elemen Indo-Eropa dalam populasi Batak di
Sumatra diduga telah terjadi interaksi antara penduduk Sumatra dalam
perdagangan (emas, kamper, kemenyan) dengan populasi dari laut Mediterania. Dalam
catatan goegrafus Ptolomesua abad ke-2 disebutkan kamper diimpor dari Sumatra
bagian utara. Sebagaimana disebut Schröder bahwa ada kemiripan aksara Fenisia
dengan aksara Batak (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder
ini Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Aksara Batak
merupakan kombinasi aksara Aramaik (abjad) dengan lambang aksara Fenesia (alfabet).
Aksara Fenesia sendiri sudah lama punah (aksara yang menjadi asal usul aksara
alfabet Yunani/Latin).
Adanya elemen populasi Austro-Asiatik dalam populasi Sumatra diduga disebabkan
adanya interaksi perdagangan (emas, kamper, kemenyan) zaman kuno. Dalam catatan
Tiongkok abad ke-2 disebutkan utusan Raja Ye-tiao dari laut selatan menghadap Kaisar
Tiongkok untuk membuka pos perdagangan. Oleh karena elemen Austro Asiatik juga
terdapat di Jawa, belum bisa dipastikan kemungkinan Raja Ye-tiao Raja dari
Sumatra. Sementara itu elemen Dravida/India selatan di Sumatra diduga yang
membawa peradaban Hindoe/Boedha ke Sumatra. Bagaimana dengan elemen Sino-Tibetan
yang hanya ditemukan di Sumatra bagian utara (Batak) diduga terjadi interaksi perdagangan
antara populasi Batak dengan populasi Tibet di utara pegunungan Himalaya
melalui Bangladesh/Burma. Oleh karena elemen Dravida hanya di Sumatra, besar
kemungkinan pengaruh Hindu/Boedha di Jawa/Kalimantan berasal dari Sumatra.
DNA populasi Indonespsi DNA populasi Indonesia dalam hal ini adalah Austronesia
(di bagian barat) dan Melanesia (di bagian timur). Dua elemen DNA itu diduga
yang menjadi asal-usul orang asli Indonesia. Percampuran Austronesia dan
Melanesia terjadi di kepulauan Nusa Tenggara. Selain dua DNA asli Indonesia
tersebut, yang lainnya diduga berasal dari luar seperti Austro-Asiatik
(Indochina). Secara khusus di Sumatra terdapat elemen Dravida (India selatan)
dan Indo Eropa dan secara khusus lagi di Sumatra bagian utara (Batak) terdapat
elemen Sino-Tibetan.
Lantas bagaimana gambaran sempurna elemen Austronesia dan Melanesia?
Seperti disebut di atas, gambaran sempurna elemen Austronesia adalah populasi
di pantai barat Sumatra (Mentawai/Nias) dan gambaran sempurna elemen Melanesia
adalah populasi Papua/Pasifik. Dalam hal ini popuasi Batak di Sumatra sudah
merupakan campuran jika dibandingkan di Nias/Mentawai.
Dengan latar belakang Austronesia atau Melanesia,
kehadiran pendatang menjadi factor penting yang menyebabkan semakin beragam di
Indonesia. Dalam hal ini, dari komposisi berbagai elemen, secara genetic Batak
dan Jawa berbeda. Dalam konteks navigasi pelayaran perdagangan, elemen dari
arah barat (India/Eropa) lebih dahulu hadir di Sumatra daripada elemen dari
arah utara (Indochina/China). Jika diasumsikan, peradaban luar memperkaya
peradaban asli Indonesia (Austronesia dan Melanesia), lantas apakah tingkat peradaban
tinggi dimulai di Sumatra khususnya di Tanah Batak? Salah satu elemen peradaban
tinggi itu adalah diwujudkan dalam penggunaan aksara. Seperti disebut di atas,
aksara Batak mirip aksara Aramaik/Fenesia (di wilayah Laut Mediterania). Dalam
konteks inilah penting arti ‘the forgotten motherland’.
Dalam narasi sejarah zaman kuno ini Indonesia pada masa ini, focus utama peradaban
maju selalu dikaitkan dengan Jawa (Mataram kuno/Seilendra, Kediri, Singhasari
dan Majapahit). Di latar belakang ditempatkan peradaban maju Sriwijaya (Sumatra
bagian selatan) dan Tarumanaga (di Jawa bagian barat). Bagaimana dengan Sumatra
bagian utara? Lantas apakah Srieijaya berpusat di Sumatra bagian selatan atau
Sumatra bagian utara. Dalam prasasti abad ke-7 (prasasti Kedoekan Boekit 682)
disebut raja berangkat dari Minanga dan tiba di Matayap. Nama Minanga diduga di
Sumatra bagian utara di Padang Lawas dan nama Matayap diduga di wilayah Sumatra
bagian selatan. Lalu mengapa pusat Sriwijaya diduga (bermula) di Sumatra bagian
utara? Dalam konteks peta DNA sebagai navigasi perpindahan populasi, wilayah
Batak hadir berbagai bangsa dari arah barat seperti Eropa/India. Para pendatang
inilah yang diduga memperkaya peradaban di Sumatra bagian utara.
Secara geomorfoligis, pesisir wilayah pantai barat
Sumatra relative tidak berubah hanya erosi yang terjadi dan bagian telok mengalami
proses sedimen (terbentuknya daratan baru), sementara pesisir pantai timur
mengalami proses sedimentasi yang intens sehingga perluasan pulau Sumatra di
pantai timur mengalami pelebaran/pembengkakan.
Pertambangan (emas) yang intens di pedalaman/pegunungan dan aktivitas
tektonik dan vulkanik mempercepat proses sedimentasi karena terbawanya massa
padat (sampah vegetasi dan lumpur) dari pedalaman. Secara geografis keberadaan
rantai gunung api di pedalaman. Pada abad ke-7 dalam hal ini Minanga dan Matayap
masih berada di garis pantai. Letak Minanga tidak jauh dari wilayah tambang
emas dan hutan penghasil kamper dan kemenyan.
Sumatra bagian utara yang kaya komoditi perdagangan
zaman kuno seperti emas, kamper dan kemenyan dan factor kedekatan geografis ke
barat (India/Eropa), menyebabkan wilayah Sumatra bagian utara cepat berkembang,
seiring jumlah populasi (yang didatangkan) yang meningkat maupun volume
perdagangan. Kota Minanga diduga kota terawal yang berkembang di pantai timur
Sumatra. Pada saat perkembangan ini kota Palembang tepat berada di muara sungai
Musi sebagai pulau.
Sangat masuk akal garis pantai timur Sumatra telah bergeser dari masa ke
masa sejak zaman kuno. Garis pantai di Minanga kemudian bergeser ke Huristak
dan lalu kemudian ke Kota Pinang dan selanjutnya ke Labuhan Batu (dan kini di
Labuhan Bilik). Demikian juga pulau Palembang telah menyatu dengan daratan yang
kemudian garis pantai bergeser ke timur mendekati pulau Bangka. Sementara itu
muara sungai Musi dan sungai Batang Hari (sebelum di Palembang dan Jambi) di
masa lampau diduga jauh di dalam bahkan bisa jadi awalnya di wilayah Muara Enim
dan di wilayah Muara Tembesi. Hal itulah wilayah Sumatra bagian selatan telah
terjadi proses sedimentasi jangka panjang yang massif sejak zaman kuno yang
menjadi factor penting terbentuknya pelapukan bahan fosil yang menjadi terbentuknya
ladang minyak dan bentang alam batubara.
Sangat masuk akal ‘the forgotten motherland’ jika
dikaitkan dengan wilayah Sumatra bagian utara, khususnya Tanah Batak. Lebar
terpendek pulau Sumatra terdapat di garis lintang antara Hapesong/Sangkunu di
pantai barat Sumatra dan Binanga/Padang Lawas di pantai timur. Sebagai lebar
terpendek maka pergerakan orang dan barang diantara dua pantai dapat
dimungkinkan berlangsung secara intens. Wilayah Bottleneck Sumatra ini kini
termasuk wilayah Tapanuli Selatan.
‘The forgotten motherland’ do wilayah Sumatra besar dugaan berada di
Sumatra bagian utara dan secara khusus di Tanah Batak dan terutama di Padang
Lawas. Argumentasi yang mendukung hal tersebut: (1) Aksara Batak mirip aksara
Fenesia; (2) Catatan geografis Ptolomesus abad ke-2 dan catatan Tiongkok abad
ke-2; (3) Secara geomorfologis sebagai lebar terpendek di Sumatra; (4) Secara genetik,
peta DNA di Tanah Batak lebih beragam dengan keutamaan kahadiran Indo Eropa dan
India selatan; (5) Secara geografis pulau Sumatra menjadi pembatas antara barat
(India/Mediterania) dan timur (Tiongkok); (6) Secara ekonomi menjadi sentra
produk zaman kuno yang diperdagangkan (emas, kamper, kemenyan dan damar/getah
puli); (7) Arah perjalanan di dalam prasasti abad ke-7; (8) situs kepurbakalaan
paling luas di Indonesia; (9) Aksara Batak bisa ditulis dari kiri ke kanan (Eropa)
maupun dari atas ke bawah (Tiongkok); (10) Memiliki catatan dari abad ke abad,
sejak abad ke-2 dan memiliki peninggalan prasasti dan candi-candi.
Di pantai barat Sumatra sejak abad ke-5 di Eropa
diketahui kamper diekspor dari pelabuhan yang disebut Barousse (yang diduga
nama Barus yang sekarang). Dalam catatan Tiongkok abad ke-6 disebut nama-nama tempat di Sumatra
bagian utara. Nama-nama tersebut selain Barus, juga nama Hepesong, Puli,
Pasaman dan Tiku serta Panti. Nama-nama tempat ini adalah sentra emas.
Tunggu deskripsi lengkapnya
The Forgotten Motherland hingga The
Forgotten Kingdoms in Sumatra: Wilayah Padang Lawas di Indonesia dan Pusat
Sriwijaya di Sumatra
The Forgotten Kingdoms in Sumatra pertama kali
diapungkan oleh FM Schnitger (1938). Tidak disebutkan kerajaan-kerajaan mana
yang diSumatra yang dimaksudkannya. Yang jelas buku berjudul The Forgotten
Kingdoms in Sumatra dipublikasikan tidak lama setelah semua penyelidikannya
situs kepurbakalaan di Padang Lawas. FM Schnitger adalah arkeolog pertama yang
melakukan eskavasi di candi Simangambat di Angkola dan candi-candi di Padang
Lawas.
Mengapa FM Schnitger menganggap penting dengan
mengangkat judul The Forgotten Kingdoms in Sumatra. Sebab selama ini
kerajaan-kerajaan di Jawa yang sudah lama diselidiki. Penelitian kepurbakalaan
di Jawa sudah sejak lama ada bahka sudah dimulai pada akhir era VOC. Kerajaan-kerajaan
di Jawa dengan jelas dan tegas disebut seperti kerajaan Kediri, kerajaan
Singhasari dan kerajaan Majapahit. Lalu bagaimana dengan kerajaan Sriwijaya di
Sumatra. Saat mana FM Schnitger melakukan penyeliddikan di Padang Lawas, soal
keberadaan Sriwijaya di Sumatra sudah pasti tetapi dimana pusat Sriwijaya masih
menjadi topik pembahasan (adu argumentasi). Ada yang meyakini di Palembang dan
juga ada yang berpendapat di Padang Lawas.
Lantas mengapa FM Schnitger tidak hanya menyebut
nama Sriwijaya saja dan mengapa harus menyebut kerajaan-kerajaan (banyak
kerajaan) di Sumatra. Boleh jadi itu dimaksudkan sudah termasuk menurut masa
dan setiap masa terdapat di beberapa tempat.
Arti The Forgotten Kingdoms secara harfiah
kerajaan-kerajaan yang terlupakan atau kerajaan-kerajaan yang tersembunyi.
Boleh jadi terlupakan/tersembunyi karena belum sepenuhnya dapat dipahami tetapi
indikasi awal sudah menunjukkan kerajaan yang pernah ada. Sebagaimana umumnya,
terlupakan/tersembunyi karena kurun waktunya sudah lama berlalu dan tidak ada
lagi dalam memori penduduk setempat. Tersembunyi, tidak hanya karena sudah lama
berlalu juga tanda-tandanya sebagai benda/bangunan kepurbakalaan sudah lama
terkubur di dalam tanah.
The Forgotten Kingdoms menjadi satu frasa yang mengindikasikan
pernah adanya kerajaan-kerajaan di zaman kuno yang benar-benar
terlupakan/tersembunyi. Frasa ini mengandung makna yang terdahulu/yang pertama
dibandingkan yang lain, Lalu bagaimana dengan di wilayah Padang Lawas? Seperti
disebut di atas, untuk menjawab pertanyaan seberapa tua di masa lampau dapat
dikaitkan dengan The Forgotten Motherland.
Teori The Forgotten Motherland dan Teori The Forgotten Kingdoms dapat dijadikan
acuan bahwa populasi berkembang di Sumatra bagian utara yang menjadi penting
kehadiran pendatang dari barat (India/Eropa) yang kemudian menyebakan
akselerasi dalam perkembangan tidak lagi pada level pertanian tetapi telah
bertransformasi pada level perdagangan. Teori Out of Taiwan didasarkan pada
sebaran bahasa (pada dasarnya kosa kata yang mirip) menjadi tidak relevan lagi.
Artinya bahasa sebagai input dan outputnya penyebaran bahasa dari Taiwan ke
nusantara. Teori ini ‘disesuaikan’ teori penyebaran peradaban pertanian menurut
para arkeolog bermula di Taiwan. Kebalikan teori Out of Taiwan adalah teori Out
of Nusantara yang mana penyebaran bahasa sebagai output yang mana yang menjadi
inputnya adalah arah perdagangan, dimana aspek navigasi pelayaran perdagangan
yang memicu terjadinya penyebaran populasi dan penyebaran (kosa kata) bahasa
bahkan hingga ke Formosa dan Ruykyu serta bahkan hingga Pasifik.
Teori The Forgotten Motherland dan Teori The
Forgotten Kingdoms haruslah dicari di Indonesia, bukan di Taiwan (sebagaimana
teori Out of Taiwan). Tidak ada bukti yang kuat bahwa teori The Forgotten
Motherland bermula di Taiwan. Elemen DNA Austronesia di pulau Formosa (Taiwan)
hanyalah sedikit (berwarna kuning). Polanya sama dengan di Vietnam yang dominan
adalah elemen DNA Cina (berwarna hijau muda). Elemen Austronesia sempurna di
Indonesia ditemukan di Mentawai (dan elemen sepura Melanesia ditemukam di
Pasifik).
Dua diantara pendukung teori Out of Taiwan adalah Peter Bellwood dan
Robert Blust. Keduanya sama-sama dari Australia. Peter Bellwood seorang
arkeolog meyakini penyebaran populasi Austronesia dari Taiwan mengikuti pola
perkembangan pertanian pangan awal yang dimulai dari Taiwan. Robert Blust
seorang ahli linguistic yang mengikuti asumsi pola penyebaran populasi meyakini
persebaran bahasa Austronesia bermula di Taiwan.
Dalam studi genetic terbaru, para ahli genetic,
sadar tidak sadar telah menyusun pola penyebaran populasi dan bahasa (yang
mengikuti Robert Blust) bahwa bahasa Austronesia masih dianggap bermula di
Taiwan (teoti Out of Africa/teori Out of Taiwan). Sementara pada peta DNA (di
Vietnam dan Formosa) di atas, elemen Austronesia di Taiwan hanyalah dalam
bilangan kecil (elemen sempurna di Nias/Mentawai).
Dalam peta penyebaran populasi/bahasa yang direkonstruksi Nias (tentu
saja sama dengan Mentawai) dianggap dari cabang Paiwan/Pazeh di Taiwan. Fakta
bahwa Mentawai (dan tentu saja Nias) merupakan elemen sepurna Austronesia. Oleh
karena disimpulkan penyebaran populasi/bahasa dari Taiwan maka tentu saja
Nias/Mentawai juga dari Taiwan. Tentu saja para ahli pendukung teori Out of
Taiwan itu penyebaran bahasa dari nusantara ke Taiwan yang juga dengan
sendirinya dari Nias ke Taiwan.
Bahasa Austronesia haruslah diartikan sebagai bahasa
nusantara (Out of Nusantara), yaitu bahasa-bahasa di nusantara. Pendukung Out
of Taiwan dalam hal penyebaran bahasa merujuk pada studi arkeologi yang
kemudian diikuti oleh para ahli genetika. Dalam hal ini para pendukung Out of
Taiwan menyusun satu bahasa awal yang mereka rekonstruksi sebagai proto
Austronesia. Dalan teori Out of Nusantara penyebaran bahasa mengabungkan hasl
studi genetic dan hasil studi perdagangan. Tidak merujuk pada satu bahasa awal
tetapi dari banyak bahasa awal (bahasa-bahasa nusantara). Kekuatan perdagangan
sangat tergantung pada kekuatan pemerintahan (kerajaan) yang mendukung navigasi
pelayaran perdagangan, tidak hanya jarak dekat tetapi juga jarak jauh. Dalam
konteks inilah terjadi penyebaran bahasa (tetapi dalam arti sejumlah kosa kata
elementer saja).
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, bukti adanya kekuatan perdagangan
ditemukan dalam catatan Eropa dan catatan Tiongkok plus bukti prasasti. Tidak
ada bukti kuat di awal perkembangan peradaban kerajaan Tiongkok telah memiliki
kemampuan navigasi pelayaran perdagangan. Catatan yang ada adalah catatan
Tiongkok abad ke-2 dimana disebut utusan Raja Ye Tiao dari laut selatan
menghadap Kiasar Tiongkok untuk membuka pos perdagangan. Jadi dalam hal ini,
orang-orang Nusantaralah yang mendahului navigasi pelayaran jarak jauh. Sangat
masuk akal orang dari kepulauan yang sesuai dalam pengembangan navigasi
pelayaran daripada orang daratan (Tiongkok). Adanya perjalanan orang Tiongkok
ke laut selatan baru ada catatannya pada abad ke-6 yakni Fa-shien dan yang
kemudian pada abad ke-7 I’tsing.
Para pendukung teori Out of Taiwan tidak menjelaskan
mengapa bahasa-bahasa nusantara begitu berbeda satu sama lain. Semakin jauh
jarak geografisnya tingkat perbedaan semakin besar. Bahasa-bahasa yang
berdekatan dan cenderung ada kemiripan dianggap sebagai dialek-dialek bahasa.
Kriteria yang digunakan para pendukung teori Out of Taiwan dalam
penyebaran bahasa adalah kemiripan bahasa. Disebut bahasa mirip adalah kosa
kata yang dari aspek bunyi mirip dan aspek makna sama. Namun harus diperhatikan
antar bahasa nusantara yang mirip tidak untuk keseluruhan, dan hanya sebagian
(kecil) saja. Misalnya antara bahasa Jawa dan bahasa Batak adalah dua bahasa
yang berbeda yang memiliki kemiripan hanya sebagian saja. Semakin sedikit
perbedaan antara diantara bahasda-bahasa (yang cenderung berdekatan) haruslah
dianggap sebagai dialek-dialek bahasa.
Dalam database yang disusun oleh Paul Jean-kuei Li
(2004) bahasa-bahasa di pulau Formosa (pulau yang terbilang kecil dengan banyak
bahasa) dapat dikatakan bahasa-bahasa yang beragam satu sama lain (berbeda
secara linguistic) dari aspek fonologi dan asepek morfologi. Mengapa? Ini
seakan mengindikasikan bahasa-bahasa di Formosa bukan berasal dari bahasa yang
sama tetapi dari bahasa-bahasa yang beragam yang berkumpul di satu pulau. Di
dalam kawasan kecil terbentuk banyak bahasa sejatinya melawan teori bahasa itu
sendiri. Secara alamiah bahasa yang secara geografis berdekatan akan
mempertahankan kemiripannya. Yang semakin jauh semakin berbeda antara bahasa di
satu ujung dengan bahasa di ujung lainnya. Lantas mengapa bahasa di pulau Formosa
banyak ragamnya?
Sebutan bilangan dapat dikatakan kosa kata yang bersifat elementer.
Seperti ditunjukkan dalam table, untuk sebutan bilangan angak satu dan angka
dua banyak ragamnya. Untuk angka satu tidak ada yang mirip dengan bahasa Batak
(sada) maupun bahasa Jawa (siji). Yang agak mirip bahasa Batak hanyalah sa dan
isa. Untuk angka bilangan dua sama dengan bahasa Pilam/Puyuma. Yang mirip
adalah zua dan dusa. Lalu ada yang mirip bahasa Jawa dan bahasa Batak untuk
angka tiga. Secara umum dari berbagai bilangan dari berbagai bahasa di Taiwan,
banyak yang mirip dengan bahasa Batak.
Lalu bagmenetap selamanya).Lalu
bagaimana dapat dikatakan bahasa-bahasa di Taiwan sebagai asal mula penyebaran
bahasa-bahasa Austronesia? Para ahli bahasa tampaknya begitu takjub pada teori
Out of Taiwan dari para ahli arkeologi, sehingga kurang menyadari bahwa teori
bahasa berbeda dengan teori arkeologi soal memahami pulau Formosa. Bagaimana
dengan teori-teori lainnya seperti teori antropologi (pengukuran antropologis)
dan teori ekonomi (navigasi pelayaran perdagangan)?
Dalam teori Out of Taiwan, perlu
dipertanyakan dalm soal penyebaran populasi dan penyebaran bahasa, mengapa
arahnya ke satu arah saja (ke selatan ke arah Australia). Sehaeusnya jika
Taiwan adalah awal penyebaran populasi dan bahasa ke selatan (teori Out of
Taiwan one way), seharusnya juga berlaku ke utara (Jepang) dan bahkan ke Alaska
serta ke barat di daratan Tiongkok (multiple ways).
Oleh
karena teori Out of Taiwan terkesan arah persebaran ke selatan maka sejumlah
kosa kata Austronesia (yang mirip) dari Taiwan menyebar luas dan sangat jauh ke
selatan bahkan hingga jauh ke Sumatra dan Pasifik. Fakta bahwa tidak ditemukan
kemiripan bahasa ke pulau-pulau besar di Jepang yang secara geografis letaknya
begitu dekat? Lalu apakah sebaliknya yang terjadi: sebab pulau Formosa adalah
salah satu ujung destinasi penyebaran populasi dan bahasa Austronesia?
Robert Blust merekonstruksi
kamus bahasa Proto Austronesia. Sejumlah kosa elementer seperti ibu=ina dan ayah=ama.
Dalam kamus proto-Austronesia Robert Blust juga termasuk sebutan bilangan 1
hingga 10 sebagai berikut: 1=*əsa, *isa; 2=*duSa; 3=*təlu; 4=*səpat; 5=*lima;
6=*ənəm; 7=*pito; 8=*walu; 9=*siwa; 10=*(sa-)puluq. Meski Robert Blust menyimpulkan
bahasa Austronesia menyebar dari Taiwan, tetapi sejumlah kosa kata yang disebut
dalam kamus proto-Austronesia tampaknya mirip dengan bahasa Batak. Bagaimana
bisa? Anehnya, tidak ada satupun bahasa di Formosa yang persis mirip dengan rekonstruksi
proto-Austronesia, sebaliknya lebih mirip sepenuhnya dengan bahasa Batak. Dalam
sebaran yang lebih luas perhatikan sebutan angka dua yang dalam bahasa Batak
disebut dua. Dalam table bahasa-bahasa di Formosa sebutan dua hanya ditemukan
dalam bahasa Puyama saja. Di nusantara sebutan dua ini sangat menyeluruh (di
Jawa disebut loro). Proto Eropa direkonstruksi sebagai duwou. Bahasa Sanskerrta
disebut dva; bahasa Persia disebut do; bahasa Latin disebut dvo, Itali=due;
Prancis=deux; Portugis=dois; Spanyol=dos. Bagaimana dengan bahasa-bahasa
tetangga Formosa? Bahasa Jepang=futa; Mongol=ĝuar; China (Canton)= ji/lœŋ, yih/léuhng; Tibet=nyi. Sebutan bilangan dua tersebar luas dari
Sumtara ke Eropa, dari Sumatra ke Formosa dan dari Sumatra ke Pasifik. Artinya
sebutan bilangan dua ditemukan di dua pertiga muka bumi. Lalu dengan demikian,
apakah bahasa Austronesia bermula di Taiwan? Apakah teori Out of Taiwan masih
berlaku? Yang jelas arah sebutan bilangan dua tidak dari daratan Cina tetapi
dari nusantara.
Sulit dipahami teori Out of Taiwan apalagi dalam soal penyebaran bahasa
Austrionesia. Sebagai pembanding, yang sebaliknya dengan mengajukan teori Out of
Nusantara, yakni dalam memahami persebaran bahasa-bahasa di nusantara (termasuk
Taiwan), dalam hal ini teori Out of Nusantara (selain teori arkeologis, teori
genetic, teori linguistic dan teori antropoligis) juga mempertimbangkan teori
ekonomi (navigasi pelayaran perdagangan) dan teori geomorfologis. Dalam
pemahaman praktis, hanya dalam navigasi pelayaran perdagangan (ekonomi)
dimungkinkan untuk melakukan pelayaran jarak jauh, perpindahan jarak jauh dan
persebaran lebih jauh dan menyeluruh. Satu yang penting dalam pelayaran jarak
jauh kemungkinan terjadinya orang untuk berkoloni (menetap sementara atau
menetap selamanya).
Saat mana terjadi koloni dimungkinkan terjadi percampuran (kawin) dengan
penduduk setempat (terbentuknya populasi/sub populasi baru). Percampuran
populasu pada gilirannya dimungkinkan terjadinya percampuran bahasa. Bahasa,
dalam hal ini sejumlah kosa kata asing, sulit diadopsi jika bahasa itu dipinjam
dari para pelintas (para pedagang/pelaut yang mampir dalam waktu singkat di
pelabuhan). Justru yang terjadi adalah sebaalikny para pelintas/pedagang di
pesisir pantai memerlukan bahasa setempat untuk saling memahami. Oleh karena itu
factor menetap/berkoloni lebih dimungkinkan terjadinya persevaran bahasa
(bahasa diadopsi oleh penduduk setempat).
Lalu siapa yang mampu dan bersedia melakukan
navigasi pelayaran perdagangan jarak jauh? Yang bisa melakukan navigasi
pelayaran perdagangan jarak jauh adalah satu partai besar yang memiliki tingkat
teknologi navigasi yang memadai dan kemampuan pembiayaan navigasi yang tidak
sedikit dalam konteks perdagangan. Hanya unit usaha yang besar atau suatu
kerajaan yang mampu untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Seiring dengan navigasi pelayaran perdagangan tersebut, seperti disebut
di atas, mengapa di Formosas ada yang dikaitkan dengan orang Nias, orang
Minangkabau, orang Batak dan orang Kerintji serta orang Gayo dan sebagainya?
Misalnya perhatikanlah adat dan budaya dari berbagai kelompok populasi di
Taiwan ada yang mirip dengan kelompok populasi di Sumatra. Bagaimana bisa
kelompok populasi di Taiwan ada yang mirip dengan adat dan budaya kelompok
populasi di Sumatra? Apakah dari Sumatra datang secara terpisah atau bersamaan
ke Formosa? atau sebaliknya dari Formosa datang secara terpisah atau bersamaan
ke Sumatra?
Untuk menjawab pertanyaan navigasi pelayaran
perdagangan sebagai agen dalam penyebaran populasi dan bahasa, lebih dahulu
haruslah terjawab/terbukti terlebih dahulu hipotesis/teori The Forgotten
Motherland dan teori The Forgotten Kingdoms. Seperti disebut di atas, teori Forgotten
Motherland menjadi pendahulu teori The Forgotten Kingdoms.
Bahasa-bahasa Austronesia adalah bahasa yang nyata, masih eksis yang
tersebar di berbagai tempat. Bahasa-bahasa itu bukanlah The Forgotten Language.
Sebab masih ada bahasa asli di Formosa dan masih ada bahasa asli di nusantara (yang
menjadi dasar perbandingan dalam terbentuknya teori bahasa Out of Taiwan). Akan
tetapi yang menjadi perhatian kita dalam hal ini adalah yang mana yang berlaku
apakah teori bahasa Out of Taiwan (menyebutkan bahasa Austronesia menyebar dari
Taiwan) atau teori bahasa Out of Nusantara (menyebutkan bahasa Austronesia menyebar
dari musantara).
Penyebaran populasi dan bahasa sejatinya sudah lama terjadi.
Ini terindikasi dari adanya populasi secara antropologis dan secara linguistik
banyak yang mirip antara satu tempat dengan tempat yang berbeda yang berjauhan.
Seperti disebutkan di atas, ada sejumlah kosa kata elementer termasuk sebutan
bilangan ada yang mirip antara bahasa Batak dan bahasa-bahasa di Formosa. Apa
yang menyebabkan itu terjadi diduga karena factor navigasi pelayaran
perdagangan jarak jauh.
Salah satu unsur kebahasaan adalah aksara yang digunakan. Seperti disebut
di atas bahwa aksara Batak mirip dengan akara Fenessia, dua wilayah aksara yang
sangat berjauhan. Sebutan bilangan belasan dalam Batak mirip sebutan bilangan
belasan dalam bahasa Armenia, bahasa Uzbek, bahasa Mongol dan bahasa Tiongkok. Apa
yang menyebabkan itu mirip diduga karena navigasi pelayaran perdagangan. seperti
disebut di atas, asal muasal sebutan bilangan belasan itu diduga kuat bermula
di barat (dalam hal ini sebutan bilangan belasan terjauh di barat berada di
Armenia). Idem dito dengan aksara Batak/Fenesia diduga bermula di barat (di Fenesia).
Hal ini karena aksara Fenesia diturunkan dari lambang aksara Mesir kuno.Catatan: bentuk aksara Jawa dan aksara berbeda. Akasara Batak merupakan kombinasi
aksara Fenesia (alfabet) dengan askara Aramaik/Arab (abjad); sedangkan aksara Brahmi
yang menurunkan aksara Jawa berbentuk abugida. Aksara Brahmi sendiri eksis
antara abad ke-3 sebelum Masehi hingga abad ke-5 Masehi.
Dalam rumpun bahasa-bahasa Autronesia, satu-satunya yang
terdahulu terhubung dengan dunia luar adalah bahasa Batak. Tidak hanya kosa
kata, juga aksara. Peta genetic juga mendukung hal tersebut. Hal itu tidak
hanya karena letak geografisnya yang paling dekat dengan barat (India/Eropa),
tetapi juga wilayah Sumatra bagian utara memiliki kekayaan alam seperti emas
(bahan perhiasan), kamper dan kemenyan (bahan obat dan kosmetik) serta damar
(bahan tinta) dan getah puli (bahan api). Posisi wilayah Sumatra bagian utara
haruslah dipandang sebagai The Forgotten Motherland dan The Forgotten Kingdoms.
Dalam konteks inilah berkembang navigasi pelayaran perdagangan hingga jauh ke
Formosa di utara dan Pasifik di timur yang menjadi pemicu penyebaran populasi
dan penyebaran bahasa Austronesia.
Belum lama ini pada tahun 1921 di situs Bongal di desa Jago Jago,
kecamatan Badiri, kabupaten Tapanuli Tengah, peninggalam zaman kuno berupa koin
dan lainya di bawah dasar rawa-rawa yang diduga berasal dari abad ke-6 (lihat
Berburu Koin Sultan di Tapanuli Tengah, Berasal dari Abad Ke-6 Dinasti Umayyah
dan Abbasiyah: https://regional.kompas.com/). Jika itu berasal dari abad ke-6
itu bersesuaian dengan catatan Tiongkok abad ke-6 dinasti Leang (502-556) yang
menyebut nama-nama tempat di pantai barat Sumatra seperti Pa-lu-sse (Barus),
Pe-song (Hepesong), Pu-lie (Huta Puli), <o-chia-man (Pasaman_, Tie-kiu
(Tiku) dan Pan-tiu (Panti). Jika mundur ke belakang disebut oleh Ptolomeus
dalam catatan geografis abad ke-2 bahwa kamper dimpor dari Sumatra bagian utara
dan catatan Eropa pada abad ke-5 kamper disebut diekspor dari pelabuhan yang
disebut Barussa (Barus). Catatan: desa Jago Jago tidak jauh dari desa Hapesong.
Begitu banyak bukti-bukti zaman kuno yang mengarah
ke wilayah Sumatra bagian tuatara terutam di daerah Tanah Batak tentang The Forgotten
Motherland dan The Forgotten Kingdoms. Tidak hanya dari bukti arkeologis, juga
bukti antropologis/genetic/DNA, bukti geografis dan bukti linguistik (bahasa
dan Aksara) serta catatan sejarah zaman kuno.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan
(ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami
ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah
catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.