*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disin
Seperti di wilayah lain, kekuasaan di Bali berawal
dari pemerintahan di bawah rezim kerajaan-kerajaan. Antar satu kerajaan yang
saling bermusuhan menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda (yang berpusat di
Batavia) membentuk cabang pemerintahannya di Bali utara (di Boeleleng dan di Djembrana)
tahun 1846 dengan ibu kota Boeleleng (dan kemudian relokasi ke Singaradja). Pada
tahun 1908 semua kerajaan-kerajaan di Bali selatan dilikuidasi dan Pemerintah
Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan yang baru dengan ibu kota di
Denpasar.

ada hubungan yang paling mesra antara Belanda dengan kerajaan-kerajaan di
nusantara sejak era VOC, kecuali radja-radja di Bali. Hubungan baik antara
Belanda dengan radja-radja Bali bermula dari perjanjian kerjasama antara
Belanda dengan Radja Bali sejak 1597.
Hubungan baik tersebut tetap terjaga hingga awal Pemerintah Hindia
Belanda sebelum Inggris menduduki Jawa (1811-1816). Pada tahun 1914 pemerintah
pendudukan Inggris sempat berseteru dengan radja Karangasem. Setelah Pemerintah
Hindia Belanda berkuasa kembali, hubungan baik radja-radja Bali terjalin
kembali. Namun muncul perselisihan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan
radja Boeleleng yang didukung Radja Karangasem. Perselisihan ini menjadi
terbuka pada tahun 1846 yang menjadi pangkal perkara Pemerintah Hindia Belanda
membentuk cabang pemerintahan di Boeleleng (dan daerah Djembrana, bawahan
Boeleleng).
Lantas bagaimana sejarah pemerintahan di pulau
Bali. Yang jelas pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Bali selatan
(Zuid Bali) relatif bersamaan dengan pembentukan cabang pemerintahan di Noord
Tapanoeli dan Atjeh. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan
sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Seperti kata
ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pemerintah Hindia Belanda: Eksistensi Radja-Radja Bali
Hingga pada tahun 1846 (lihat Almanak 1847) tidak
ada orang Belanda yang bertempat tinggal di pulau Bali dan pulau Lombok, apakah
sebagai pejabat pemerintah atau swasta, Mengapa? Yang ada adalah warga asing
yakni orang Denmark di Bali dan orang Inggris di Lombok. Orang terdekat Belanda
ke Bali berada di Banjoewangi dan orang Belanda terdekat ke Lombok berada di
pulau Soembawa.
Pemerintah Hindia Belanda boleh jadi menganggap Bali dan Lombok adalah
semacam daerah khusus. Hal ini karena ada hubungan yang mesra antara
orang-orang Belanda dengan radja-radja Bali (termasuk Lombok) sejak era VOC.
Para radja-radja yang berkuasa di dua pulau ini. Yang ada adalah perjanjian
kerjasama yang terus diperbarui dan saling menjaga. Perjanjian tersebut antara
Pemerintah Hindia Belanda dengan radja Boeleleng (termasuk Djembrana), Badoeng
(termasuk Gianjar?), Kloengkoeng (termasuk Bangli?), Tabanan (termasuk Mangwi?), Karangasem dan Lombok. Dalam
perjanjian dengan radja-radja tersebut termasuk di dalamnya soal penghapusan
(upaya pencegahan) tawan karang.
Keberadaan pedagang orang Denmark di Bali dan
orang Inggris di Lombok tampaknya tidak masalah bagi Pemerintah Hindia Belanda.
Orang Denmark di Bali dan orang Inggris di Lombok sesungguhnya karena mengisi
kekosongan orang-orang Belanda. Pada tahun 1823 terdapat perwakilan perdagangan
Belanda di Bali, namun tidak lama kemudian dihapuskan. Pada tahun 1940 kembali
Peerintah Hindia Belanda membuka pos perdagangan di Bali. Namun itu juga tidak
berkembang. Mengapa? Jawabannya hanya satu:
perdagangan Pemerintah Hindia Belanda di Bali tidak menguntungkan. Kekosongan
perdagangan Pemerintah Hindia Belanda inilah yang menyebabkan orang Denmark dan
orang Inggris mengisinya.
Tidak
adanya campur tangan Pemerintah Hindia Belanda di Bali dan Lombok di satu sisi
adalah suatu kebebasan bagi radja-radja di Bali dan Lombok. Dalam perjanjian
dengan radja-radja Bali dan Lombok juga menyebut tidak ada campur tangan dalam
negeri. Poin penting dalam perjanjian hanyalah soal saling menjaga keamanan
wilayah (perairan) dan larangan mengimpor senjata dari negara asing (di luar
Pemerintah Hindia Belanda). Secara teoritis kerajaan-kerajaan Bali di pulau Bali
dan pulau Lombok hanya semacam protektorat. Sementara di sisi lain, antara satu
kerajaan dengan kerajaan lainnya di pulau Bali dan pulau Lombok terdapat saling
bermusuhan satu sama lain. Hal itulah yang menyebabkan, seperti Djembrana kemudian
berada di bawah kekuasaan Boeleleng dan beberapa kerajaan di pulau Lombok
menjadi satu kerajaan (penguasa tunggal di Lombok) serta perselisihan antara
Karangasem dan Kloengkoeng soal Mangwi. Lantas apa yang menyebabkan
perselisihan-perselisihan diantara kerajaan-kerajaan di Bali dan Lombok? Hanya
satu alasan yang relevan: penguasaan, khususnya penguasaan ekonomi.
Pada tahun 1846 muncul persoalan antara
Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan Boeleleng. Persoalannya terbilang
sensitif. Terjadi perampokan kapal asal Soemanap (Madoera) berbendera tricolor
(Belanda) di perairan Djembrana (wilayah kekuasaan Boeleleng). Pemerintah
Hindia Belanda menganggap hal itu serius (karena melanggar perjanjian damai)
dan kemudian mengajukan tuntutan ganti rugi kepada radja Boeleleng. Namun tidak
digubris. Sebagai negara (kerajaan) protektorat pasca kejadian, utusan
pemerintah yang datang menemui radja Boeleleng tidak disambut sebagai sahabat
dan juga sebagai negara (kerajaan) protektorat para utusan menemukan bahwa bendera
tricolor tidak dikibarkan mendampingi bendera kerajaan. Setelah tuntutan ganti
rugi tidak kunjung dipenuhi (sebagai alasan utama) dan setelah disampaikan
ultimatum, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer ke
Boeleleng.
Sebelum
pengiriman ekspedisi militer, Pemerintah Hindia Belanda meminta pendapat
radja-radja lain. Radja-radja seperti Kloengkoeng dan Badoeng menyetujui
tindakan ekspedisi militer tersebut ke Boeleleng. Dalam ekspedisi militer yang
dilakukan bulan Juni 1846 radja Bali Selaparang di Lombok mengirim pasukan
untuk membantu militer Pemerintah Hindia Belanda. Radja Boeleleng melarikan
diri ke perbatasan Karangasem yang kemudian mendapat dukungan dari radja
Karangasem (radja Karangasem dan radja Boeleleng masih kerabat dekat).Dalam penaklukkan Boeleleng ini Gubenur Jenderal
memantau dari Soerabaja, sementara radja Badoeng disebut tetap pada
pendiriannya mendukung tindakan Pemerintah Hindia Belanda (lihat Bredasche courant, 27-08-1846). Seperti kita
lihat nanti, inilah awal perkara perseteruan antara radja Karangasem dan radja
Badoeng.
Sejak ekspedisi militer inilah, Pemerintah Hindia
Belanda membuka cabang pemerintahan yang baru di Boeleleng dan Djembrana.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Daftar Residen, Asisten Residen dan Controleur di Bali
Pemerintah Hindia Belanda sesungguhnya adalah
benar-benar pemerintahan, suatu pemerintahan yang dimiliki oleh kerajaan
Belanda di Hindia (karena itu disebut Hindia Belanda).Sebagai suatu pemerintahan,
semua hal diatur berdasarkan azas peraturan dan perundang-undangan. Jika
kerajaan-kerajaan (yang tersisa di Bali dan Lombok) secara teoritis negara
protektorat, negara Pemerintah Hindia Belanda secara teoritis adalah negara
dominion dari negara (kerajaan) Belanda. Dalam perspektif inilah cabang
Pemerintah Hindia Belanda dibentuk di Bali. Namun pembenttukan pemerintahan di
Bali ini tidak segera karena berbagai sebab.
Gubernur
Jenderal di Batavia (Rochussen) membawahi gubernur dan residen. Gubernur hanya
ada di tiga tempat: Padang, Makassar dan Ambon. Di pulau Jawa hanya setingkat
residen. Salah satu residen di Jawa berkedudukan di Basoeki. Salah satu Asisten Residen di (Residentie)
Basoeki berkedudukan di Banjoewangi.Asisten Residen Banjoewangi inilah yang
pertama kali diberi tanggungjawab sebagai penguasa sipil di Bali pasca Perang Boeleleng
(1846) dengan menempatkan Controleur di Boeleleng dan Djembrana. Dalam
ekspedisi militer ke Bali ini Resident Basoeki Luitenant Colonel AWH Baron de Kock bertindak sebagai Komisaris.
Sehubungan dengan semakin intensnya pejabat Belanda ke Bali (khususnya
Djembrana dan Boeleleng), Resident Basoeki digantikan oleh sipil. Luitenant
Colonel AWH Baron de Kock digantikan
oleh JLB Engelhard yang mana Luitenant Colonel AWH Baron de Kock ditempatkan
sebagai Residen di Djogjakarta tetapi asisten residen di Banjoewangi diganti
dengan militer yakni Kapten Artileri, ajudan Gubernur Jenderal Jhr. F. van
Capellcn (lihat Leydse courant, 24-01-1849). Hal ini boleh jadi karena ekskalasi
politik meningkat lagi di Bali (khususnya Karangasem), Sehubungan dengan itu
juga, Pemerintah Hindia Belanda menugaskan eks Gubernur Sumatra’s Westkust Maj
General AV Michiels ke Bali yang akan melakukan ekspedisi militer pada tanggal
1 April 1849 (lihat Arnhemsche courant, 24-03-1849).
Setelah ekspedisi militer Pemerintah Hindia
Belanda berakhir lalu diadakan perjanjian yang mana Pemerintah Hindia Belanda
mengajukan perjanjian (kontrak baru) yang diwakili oleh Asisten Residen
Banjoewangi Jhr. T. van Capellen (lihat Nederlandsche staatscourant, 22-12-1849).
Disebutkan bahwa Asisten residen Banjoewangie, Jhr. T. van Capellen, yang
bertanggung jawab atas pertukaran kontrak yang diratifikasi dengan para pangeran
di Bali, telah diterima semua pangeran Bali dan yakin bahwa mereka akan setia
dan dengan tulus untuk mematuhi isi perjanjian. Jhr. T. van Capellen telah
bertindak sebagai komisaris untuk Bali en Lombok.
Dalam
perkemabngannya komisaris untuk urusan Balie dan Lombok memberitakan bahwa Dewa
Agung Putra, pangeran dari Kloenkoeng yang juga Soesoehoenan Bali, pada 24
Februari meninggal (lihat Algemeen Handelsblad, 22-05-1850). Disebutkan bahwa
berita duka ini telah diberitahukan kepada Rajah Badong, Tabanan dan Gianjar
oleh Dewa Agoeng Istri, yang tampaknya mengambil alih pemerintahan, sebagaimana
kebiasaan di Bali yang menyiratkan bahwa pemberitahuan ini dibuat oleh penerus
takhta, dan dalam hal ini seharusnya dilakukan oleh Dewa Agoeng Gede, yang juga
menandatangani kontrak terakhir yang dibuat dengan Pemerintah Belanda, atas
nama Dewa Agoeng Poetra.
Pasca perang, Pemerintah Hindia Belanda tidak
segera membentuk cabang pemerintahan di Bali. Pemerintahan yang ada bersifat
tidak langsung yang berada di bawah komisaris (dalam hal ini Asisten Residen
Banjoewangi). Bali masih diperintah oleh orang Bali sendiri. Di Boeleleng telah
diangkat seorang pemimpin pribumi (semacam Bupati) untuk menggantikan fungsi
Radja. Inilah satu hal yang khusus yang diberikan oleh Pemerintah Hindia
Belanda bagi Bali (sebagai wujud hubungan historis). Pemerintah Hindia Belanda
sejatinya tidak banyak campur untuk urusan dalam negeri di Bali. Seperti
disebutkan setiap kerajaan di Bali menandatangani perjanjian dan kontark
sendiri-sendiri. Itu berarti setiap radja langsung berurusan dengan Pemerintah
Hindia Belanda.
Baru
segala sesuatunya mulai berjalan kondusif di Bali, kembali muncul permasalahan
di Bali. Diberitakan antara Radja Tabanan dan radja Mengoei (Mangwi) telah
pecah perang (lihat Leydse courant, 25-09-1850). Surat kabar Nieuwe
Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 18-02-1851
menyebutkan bahwa di Kloenkoeng (Bali) pembakaran akhirnya terjadi pada mayat Soesoehoenan
Dewa Agong Poetra, Suhuunan Bali dan pangeran Klonkong, dengan gelar Dewa Agoug
Putra, disebut putra Dewa Agong Ketut Agong, juga disebut Dewa Agong Gedeh,
yang telah melepaskan klaimnya atas takhta putranya atas nama putranya.
Tuntutan terhadap kapal karam di Bali, sebagai
awal perkaranya terjadinya perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan radja
Boeleleng, tetap diproses melalui pengadilan arbitrase. Pemerintah Hindia
Belanda MJ Lange sebagai agen Pemerintah Hindia Belanda di Bali telah diangkat
untuk mewakili pemerintah dalam pengadilan arbitrase tersebut. Tampaknya
Pemerintah Hindia Belanda (MJ Lange) telah memenangkan perkara di pengadilan
arbitrase tersebut. Tugas MJ Lange berakhir pada bulan Juni 1855 (lihat
Samarangsch advertentie-blad, 15-06-1855). Untuk pengganti MJ Lange telah ditunjuk
PL van Bloemen Waander yang berkedudukan di Boeleleng.
Pengadilan
Arbitrase ini di Eropa. MJ Lange adalah pengusaha asal Denmark di Bali
(sebelumnya di Lombok). Terhadap jasa-jasa MJ Lange ini di dalam pengadilan
arbitrase, kerajaan Belanda menerbitkan surat keputusan dengan pemberian
medali. Surat keputusan dan mendali ini disimpan di suatu museum di Denmark
(lihat Samarangsch advertentie-blad, 28-12-1855).
Setelah semuanya beres dala hukum formal,
Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda di
Bali. Ini sehubungan dengan pengangkatan Controleur kelas satu PL van Bloemen
Waanders, yang ditempatkan di Beliling, ditingkatkan pangkatnya menjadi Asisten
Residen (lihat Nederlandsche staatscourant, 03-06-1857), Disebutkan sebagai pengakuan
atas sikap terpuji dimana PL van Bloemen Waanders Controleur kelas satu yang
ditempatkan di Beliling, ditingkatkan pangkatnya menjadi Asisten Residen dengan
melaksanakan tugas untuk pemerintah tentang pengetahuan tentang tanah, rakyat, akhlak
dan pranata di Bali.
PL van
Bloemen Waanders dapat dikatakan sebagai Controleur pertama di Boeleleng
sebagai wujud dari cabang Pemerintah Hindia Belanda di Bali. PL van Bloemen
Waanders juga dapat dikatakan sebagai Asisten Residen pertama di Bali.
Sehubungan dengan pengangkatan PL van Bloemen Waanders sebagai Asisten Residen
maka di Djembrana akan ditempatkan seorang Controleur. Pembentukan cabang
Pemerintah Hindia di Belanda hanya sebatas pembentukan afdeeeling Boeleleng dan
afdeeeling Djembrana. Sementara lanskap-lanskap lainnya di Bali masih berada di
bawah otoritas radja-radja Bali.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.