*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Riau di blog ini Klik Disini
Gambaran
geografis zaman kuno berbeda dengan batas-batas wilayah pada masa kini. Seperti
halnya kerajaan Melayu Riau berawal di Johor (kini Malaysia), juga kerajaan di
wilayah hulu sungai Batanghari (kerajaan Mauli) berawal di Palembang (Sriwijaya).
Lalu kerajaan Melayu di hulu sungai Batanghari (Darmasraya) bergeser ke hulu
sungai Indragiri (di Tanah Datar, Sumatra Barat). Dalam hal ini candi Muara
Takus dibangun di hulu sungai Kampar, kerajaan Johor belum eksis.

oleh Raja Kecil dari Pagaruyung pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat
dalam perebutan tahta Johor. Di wilayah Kerajaan Siak inilah terdapat candi
Muara Takus yang dibangun sejaman dengan candi di hulu sungai Batanghari
(kerajaan Mauli). Radja Singghasari dari Jawa (Kertanegara) menjalin kerjasama dengan
Radja di Kerajaan Mauli yang menurut Schnitger (1935) keduanya sama-sama
pendukung fanatik agama Boedha Batak (sekte Bhairawa) yang berpusat di Padang
Lawas. Radja Adityawarman yang relokasi ke hulu sungai Indragiri juga pendukung
fanatik sekte Bhairawa. Hal itulah mengapa karakteristik candi di Dharmasraya
dan Muara Takus mirip dengan candi-candi di Padang Lawas.
Lantas
bagaimana sejarah asal usul candi Muara Takus yang kini masuk wilayah provinsi
Riau? Schnitger (1935) menyimpulkan bahwa candi-candi di Padang Lawas terhubung
dengan candi di Muara Takus melalui candi yang terdapat di hulu sungai Rokan
(candi Manggis). Lalu mengapa candi Muara Takus tidak terhubung dengan candi
Dharmasraya di hulu sungai Batanghari? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Sekte Bhairawa: Agama Boedha
Batak
Adityawarman
disebut penerus dinasti Mauli dari Kerajaan Mauli dengan peninggalan situsnya
kini terdapat di Dharmasraya. Adityarman dikukuhkan sebagai radja pada tahun 1347
dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama
Rājendra Maulimāli Warmadewa. Dari nama gelar itu, selain namanya sendiri
(Adityawarman) juga ada nama Rejendra (Chola) dan Mauli(mali). Tahun pengangkatan
menjadi raja Adityawarman pada era Majapahit (pasca Singhasari). Untuk sekadar
catatan dua tahun sebelumnnya (1345) Ibnu Batutah mengunjungi Sumatra.
Radja terakhr Singhasari adalah Kertanegara.
Pada masa Kertanegara, Singhasari cukup berjaya. Hal itulah mengapa terjadi
hubungan persahabatan dengan Kerajaan Aru (Panai) di daerah aliran sungai
Barumun. Wujud dari persahabatan itu
terjadi pertukaran dalam bidang seni arsitektur dan seni aksara. Ini terlihat dari
motif relief pada candi-candi Padang Lawas dan elemen pada aksara Batak. Radja
Kertanegara meninggal pada tahun 1292 (tahun dimana Marcopolo mengunjungi
Sumatra). Schnitger yang melakukan eskavasi di candi-candi Padang Lawas (1935)
menyimpulkan Radja Kertanegara salah satu pendukung fanatik agama Bodha Batak
yang disebut sekte Bhairawa. Catatan: Schnitger adalah seorang arkeolog
internasional yang diangkat sebagai kepala dinas kepurbakalaan Hindia Belanda
di Palembang. Sebelum ke Padang Lawas, Schnitger telah melakukan eskavasi di
daerah aliran sungai Musi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
13-04-1935), Sebelumnya Dr Schnitger telah banyak menemukan patung di Jawa
antara lain patung Anoesjapati, pangeran Madjapahit yang terkenal, yang dibunuh
oleh saudara iparnya pada tahun 1248 dan monumen pemakamannya di Kidal (selatan
Malang) yang disebut titik tertinggi seni Jawa (Timur). Setelah itu Schnitger
menemukan patung Raja Airlanga (meninggal 1048) dan Kertawardhana (meninggal 1389).
Dr Schnitger juga telah melakukan eskavasi di candi Simangambat di hilir sungai
Angkola di Siabu dan candi Muara Takus di hulu sungai Kampar Kanan. Dengan
pengetahuan yang luas itulah Dr Schnitger, selama proses eskavasi di berbagai
candi-candi di Padang Lawas, menyimpulkan Raja Kertanegara sebagai pendukung
fanatik agama Boedha sekte Bhairawa.
Berita
tentang kesimpulan Dr Schnitger tentang Radja Kertanegara sebagai pendukung
fanatik Boedha sekte Bhairawa menjadi heboh (viral) di surat kabar di Jawa dan
di Belanda. Mengapa? Para editor, para
pengamat sejarah kepurbakalaan dan para pembaca menulis mulai mengaitkan dengan
meninggalnya Radja Kertanegara di Singhasari (yang setelahnya) dengan munculnya
Kerajaan Majapahit (yang beragama Hindoe). Tidak hanya itu, berita heboh muncul
lagi karena Dr Schnitger juga menyimpulkan bahwa Radja Adityawarman juga
pendukung fanatik agama Boedha (Batak) sekte Bhairawa.
Dr Schnitger kemudian di Palembang mengumumkan hasil
temuannya pada eskavasi di Palembang bahwa ditemukan patung yang lebih muda
(dari prasasati Sigoentang abad ke-8) yang harus terkait dengan prasasti di
Telaga Batu (lihat De Indische courant, 27-06-1935). Patung tersebut adalah
patung batu pertama yang ditemukan di Palembang yang terkait erat dengan seni orang
Jawa (Tengah) tetapi tidak ada hubungannya dengan kuil-kuil Mangkoeboemi (abad
ke-14 dan abad ke-15).
Dr Schnitger kemudian
mengunjungi Jambi sesuai laporan adanya candi di hilir (delta) sungai
Batanghari (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-09-1935).
Para pengamat di Jawa kota ini pernah disebut Marcopolo. Candi yang berada di
Jambi eksis sejaman dan ditaklukkan Sriwijaya pada tahun 664. Para pengamat
mengatakan bahwa Jambi juga pernah tempat kedudukan raja-raja Shailendra
(Sriwijaya) yang kala itu berhubungan dengan para raja Jawa untuk menaklukkan
Malaka pada abad ke-8 dan memenggal kepala raja Kamboja pada abad ke-9. Namun
karena bagian hilir sungai Batanghari belum diselidiki oleh seorang arkeolog
masih menunggu hasil penyelidikan Schnitger,
Dr Schnitger juga mendapat laporan penemuan di
Pasemah (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-12-1935).
Dr Schnitger sebagai
kepala (museum) kepurbakalaan di Palembang telah mendapat izin dari pemerintah setempat
(Lampung) untuk dibawa temuan itu ke Palembang untu diselidiki lebih lanjut.
Temuan itu berupa patung gajah yang diukir dari batu andesit dan memiliki
panjang 2,17 meter yang diduga berasal dari Indo-Cina atau Tiongkok Selatan.
Apa
yang menarik dari temuan-temuan Schnitger di Sumatra adalah tentang dua era
masa kerajaan-kerajaan di Sumatra (sebelum dan sesudah invasi Chola dari India
selatan). Pada tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari India Selatan melancarkan
invasi di kerajaan Kedah (Semenanjung), Panai di daerah aliran sungai Barumun
(Kerajaan Aru) dan Sriwijaya di daerah aliran sungai Musi.
Berdasarkan tulisan-tulisan pada masa ini,
dinasti Śailendra berasal dari Sumatra yang bermigrasi ke Jawa (Tengah) setelah
Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 dengan menyerang kerajaan
Tarumanagara dan Kalingga. Sebagaimana diketahui pada prasasti Kedukan Bukit
dibuat pada tahun 684. Dalam prasasti ini nama Minana disebut. Nama Minana ini
pada masa ini adalah Binanga, pelabuhan Kerajaan Aru di muara sungai Panai di
sungai Barumun (Padang Lawas). Berdasarkan penemuan Dr Schnitger (1935) di seputar
Binanga inilah ditemukan candi-candi Boedha sekte Bhairawa.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Candi Muara Takus: Antara Rokan dan Kampar (Wilayah Kerajaan Aru)
Ada
beberapa versi tentang masa awal Aditywarman. Namun yang lebih jelas Adityawarman
pada tahun 1347 mendirikan kerajaan sesuai pada Arca Amoghapasa di Dharmasraya
yang sekarang. Disebutkan kerajaan ini bernama Kerajaan Malayapura. Seperti
disebut di atas gelar Adityawarman adalah Maharajadiraja Srīmat Srī
Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli. Ini seakan kerajaan baru
yang menggantikan kerajaan sebelumnya Kerajaan Mauli (suatu kerajaan yang
terbentuk pasca invasi Chola). Arca Amoghapasa sendiri adalah patung batu yang
menggambarkan Amoghapasa, suatu patung yang sebelumnya merupakan hadiah dari
Kertanegara, raja Singhasari, untuk Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa di Kerajaan
Mauli. Pada lapis arca inilah prasasti 1347 dipahatkan (disebut Prasasti Padang
Roco di Dharmasraya).
Ada jarak yang jauh saat Kertanegara, raja
Singhasari mengirim patung Amoghapasa ke hulu sungai Batanghari (Kerajaan
Mauli) dengan Adityawarman menjadi raja pada prasasti tahun 1347. Kertanegara
meninggal tahun 1292. Mengacu pada kesimpulan Schnitger bahwa raja Kertanegara
dan raja Adityawarman sama-sama pendukung fanatik agama Boedha sekte Bhairawa.
Lantas
mengapa Radja Adityawarman, Kerajaan Mauli (yang sudah menjadi kerajaan
Malayu), relokasi ke hulu sungai Indragiri (situs Kerajaan Pagaroejoeng yang
sekarang). Apakah karena adanya serangan dari Majapahit (Hindoe) kepada
kerajaan-kerajaan di pantai timur Sumatra yang beragama Boedha, yang mana pusat
agama Boedha sekte Bhairawa di Panai (Kerajaan Aru) di daerah aliran sungai
Barumun. Dalam catatan Negarakertagama ditemukan nama-nama (pelabuhan) di
pantai timur Sumatra seperti Mandailing, Panai dan Haru (Ambuaru).
Pelabuhan Mandailing berada di daerah aliran
sungai Rokan, pelabuhan Panai di daerah aliran sungai Barumun dan pelabuhan
Haru di daerah aliran sungai Ambuaru (sungai Jambu Air di Peureulak yang
sekarang). Tiga pelabuhan ini, bersama palabuhan Baroes adalah pelabuhan
Kerajaan Aru (Panai) di pedalaman.
Dalam
serangan Majapahit ke pantai timur Sumatra, Kerajaan Sriwijaya yang sudah lama
menurun berhasil dikalahkan Majapahit di bawah Patih Gajah Mada (beragama
Boedha). Lalu mengapa Kerajaan Aru dan Kerajaan Pagaroejoeng masih eksis,
sementara disebutkan nama Mandailing, Panai dan Haru dalam Negarakertagama. Ini
mengindikasikan bahwa pasukan Majapahit hanya menaklukkan kota-kota pelabuhan
tetapi tetap eksis Kerajaan Aru dan kerajaan Pagaroejoeng.
Patih Majapahit Gajah Mada disebut meninggal
tahun 1364 dan Radja Hayamwuruk meninggal tahun 1389. Setelah meninggalnya
Radja Hayam Wuruk disebutkan Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran. Kerajaan
Aru dan Kerajaan Pagaroejoeng masih tetap eksis. Dalam catatan Tiongkok (Ma
Huan) menyebut Kerajaan Aru Batak Kingdom terjalin hubungan yang erat, paling
tidak selama ekspedisi-ekspedisi Cheng Ho (1402-1433).
Dalam
catatan Ma Huan disebutkan bahwa radja Kerajaan Aru beragama Islam. Itu berarti
bahwa Kerajaan Aru telah meninggalkan agama lama (Boedha sekte Bhairawa).
Laksamana Cheng Ho adalah seorang Muslim, karena itulah diduga ekspedisi Cheng Ho
juga singgah di Kerajaan Aru (di muara sungai Barummun). Lantas sejak kapan
Radja Kerajaan Aru beragama Islam (meninggalkan Boedha sekte Bhairawa)?.
Kerajaan Aru pada awalnya adalah penganut
Boedha. Ini dapat diperhatikan pada peninggalan candi Simangambat di Siabu yang
dibangun pada abad ke-8. Pelabuhan Binanga yang telah berkembang pesat, pusat
Kerajaan Aru relokasi ke Binanga. Pada saat inilah Kerajaan Aru berinteraksi
dengan pedagang-pedagang Boedha dari Indo China. Candi-candi baru
dibangun.
Seperti
disebut di atas, Kerajaan Chola invasi ke selat Malaka dan menaklukkan Kedah,
Panai (Kerajaan Aru) dan Sriwijaya. Invasi ini diduga tidak hanya karena faktor
perdagangan yang berkiblat ke Tiongkok tetapi juga karena faktor perbedaan
agama (Chola bergama Hindoe dan kerajaan-kerajaan di selat Malaka bergama
Boedha). Hal itulah diduga mengapa ada candi Hindoe (Chola) dibangun di hulu
sungai Barumun (candi Sangkilon, satu-satunya candi Hindoe).
Schnitger (1935) yang melakukan eskavasi di
candi Sangkilon menyimpulkan bahawa candi Hindoe (peninggalan Chola) telah
diubah menjadi candi Boedha. Schnitger berkesimpulan Kerajaan Aru telah
menghianati Hindoe, kembali ke agama lama Boedha (candi Simangambat) tetapi
dengan sekte yang baru dalam agama Boedha (sekte Bhairawa).
Selama
invasi Chola, kerajaan baru muncul di hulu sungai Batanghari (Kerajaan Mauli)
dan kerajaan di hulu sungai Kampar (candi Muara Takus). Schnitger (1935) yang
melakukan ekskavasi terhadap laporan adanya candi di hulu sungai Rokan (candi
Manggis) berkesimpulan bahwa ada jalur (kumunikasi) transportasi di satu sisi
ke arah (candi Sangkilon) dan di sisi lain ke arah candi Muara Takus di hului
sungai Kampar. Namun tidak ada indikasi Schnitger menghubungkan kerajaan di
hulu sungai Batanghari (Dharmasraya) dan juga tidak ada indikasi Schnitger
menghubungkan kerajaan di hulu sungai Batanghari dengan Kerajaan Sriwijaya di
daerah aliran sungai Musi (hubungannya hanya di masa lalu dengan situs yang
ditemukan di hilir sungai Batanghari candi Muaro Jambi).
Lantas mengapa kerajaan di hulu sungai
Batanghari (Dharmasraya) disebut Kerajaan Mauli? Sementara itu, tidak ada indikasi Schnitger
menhubungkan Kerajaan Mauli dengan Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Akan tetapi,
Schnitger hanya berpendapat bahwa ada
kesamaan karakter candi di berbagai tempat yakni candi di sungai Langsat (candi
Padang Roco), candi di hulu sungai Kampar (candi Muara Takus), candi di hulu
sungai Rokan (candi Manggis) dan candi di hulu sungai Baraumun (candi-candi
Padang Lawas). Apakah jalur transportasi yang dimaksud Schnitger antara candi
Sangkilon dengan candi Manggis di satu sisi dan candi Manggis dengan candi
Muara Takus (hingga candi Padang Roco) di sisi lain, merupakan jawaban bahwa
para pemimpin (Kerajaan Aru) pada invasi Chola telah melarikan diri ke selatan
dengan membangun pusat-pusat perdagangan (candi) di tiga hulu sungai besar (Rokan,
Kampar dan Batanghari). Kerajaan di hulu sungai Batanghari inilah kemudian yang
disebut Kerajaan Mauli (sebelum menjadi Kerajaan Malayu pada era Adityawarman).
Nama Mauli tentu saja hanya ditemukan di wilayah Padang Lawas, tentu saja bukan
hanya ucapan mauli(ate) tetapi juga nama kerajaan-kerajaan kecil seperti Janji
(kerajaan) Mauli (tidak jauh dari candi Sangkilon). Lalu muncul pertanyaan apakah
pasca invasi Chola para pemimpin Kerajaan Aru di Mauli telah kembali ke Padang
Lawas? Lalu setelah itulah Kerajaan Aru bangkit kembali
dengan sekte barunya Boedha sekte Bhairawa. Sementara Kerajaan Sriwijaya, pasca
invasi Chola ini juga bangkit kembali.
Pasca
invasi Chola, Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya bangkit kembali. Seperti yang
disebutkan di atas, di Kerajaan Aru terbentuk sekte baru agama Boedha (sekte
Bhairawa), suatu sekte yang berbeda dengan agama Boedha di daerah aliran sungai
Musi (Sriwijaya). Pada era baru kejayaan Kerajaan Aru inilah Padang Lawas
terhubung dengan kerajaan di Jawa (Singhasari). Seperti disebut di atas, radja
Singhasari Raja Kertanegara menjadi pendukung fanatik agama Boedha sekte
Bhairawa sebagaimana disimpulkan Schnitger. Sekte Bhairawa tidak lazim di Jawa
(hanya pada era Radja Kertanegara).
Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari yang telah
beragama Boedha sekte Bhairawa, pada tahun 1286 raja Kertanegara dari Singhasari
pendukung fanatik sekte Bhairawa mengirim patung ke Kerajaan Mauli. Patung
inilah kemudian yang diperkaya oleh Adityawarman pada tahun 1347 sehubungan
dengan pengukuhannya sebagai raja di Kerajaan Mauli dengan nama baru Kerajaan
Malayu.
Lantas
bagaimana dengan munculnya candi Muara Takus di hulu sungai Kampar? Apa reaksi Kerajaan Aru dan Kerajaan Mauli? Hingga sekarang disebut masih misterius dalam
arti tidak ada bukti-bukti yang belum dapat ditemukan. Pada saat penelitian
Schnitger di candi Muara Takus, mencatat di kalangan masyarakat ada legenda
(cerita lama) yang menyatakan bahwa wilayah ini pernah di serang orang Batak.
Karena hanya legenda, Schnitger tidak menyimpulkan orang Batak yang dimaksud
adalah Kerajaan Aru di Padang Lawas. Schnitger hanya berkesimpulan bahwa ada
jalur penghubung (transportasi) dari candi Sangkilon di hulu sungai Barumun ke
candi Manggis di hulu sungai Rokan dan candi Muara Takus di hulu sungai Kampar.
Schnitger tidak mengindikasikan adanya hubungan transportasi dari Kerajaan
Mauli ke Muara Takus. Namun jalur dari candi Sangkilon ke candi Muara Takus via
candi Manggis sesungguhnya dapat disimpulkan bukti kebenaran legenda rakyat
itu, karena Schnitger berkesimpulan bahwa ada kesamaan karakter candi di Padang
Lawas, Rokan, Kampar dan Batanghari.
Seperti halnya legenda di sekitar candi Muara Takus,
ada nama geografis yang pada awal era Pemerintah Hindia Belanda hanya ditemukan
di dekat situs Dharmasraya (Kerajaan Mauli) dan di dekat situs Pagaroejoeng
(Suroaso) yakni kampong Padang Lawas. Dua nama tempat dengan nama Padang Lawas
ini sepintas tidak memiliki makna. Tetapi yang menjadi pertanyaan di dua tempat
itu tidak terdapat padang lawas (padang yang luas). Kata ‘padang’ dan ‘lawas’
hanya ditemukan di Padang Lawas hulu sungai Barumun. Pada Prasasti yang
ditemukan di Padang Lawas (Prasasti Batugana di candi Bahal 1), terdapat
kata-kata ‘padang ….’, ‘batu ganam’ pada baris 6; ‘…. damarhaya’ pada baris 7; ‘hang
daja kudhi haji’ dan ‘pannai’. Jika teks zaman kuno itu diartikan sekarang kata
‘padang ….’ adalah Padang Lawas, nama kabupaten, ‘batu ganam’ adalah Batugana,
nama desa dikabupaten Padang Lawas, ‘…. damarhaya’ adalah Dharmasraya kini nama
kabupaten di Sumatera Barat, ‘hang daya kudhi haji’ adalah gelar haji yang
sekarang yang dalam hal ini sang raja bergelar tuan kadi haji dan ‘pannai’
adalah Panai atau Pane, nama kerajaan dan nama sungai di Padang Lawas.
Bagaimana gelar ‘haji’ diartikan sekarang? Kita harus kembali mengingat kunjungan Ibnu Batutah
pada tahun 1345. Ibnu Batutah adalah
orang Moor bergama Islam dari Afrika Utara (kini Tunisia). Kunjungan Ibnu
Batutah tentu saja ada kaitannya dengan komunitas orang Moor di Sumatra setelah
menyebar dari Spanyol pasca Perang Salib. Pedagang-pedagang orang Moor diduga
yang berdagang ke Panai (Padang Lawas) pasca invasi Chola dan berakhirnya agama
Boedha sekte Bhairawa yang menyebabkan Radja (Kerajaan Aru) bergama Islam (dan
telah pergi ke Mekkah). Saat Mendes Pinto berrkunjung ke Kerajaan Aru Batak
Kingdom pada tahun 1537 disebutnya Radja Aru bergama Muslim, militernya yang
berjumlah 15.000 yang diantaranya sebanyak tujuh ribu didatangkan dari
Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon yang diperkuat oleh orang-orang Moor. Nah
dengan demikian, apakah ada kaitan antara teks Prasasti Batugana tentang ‘hang
daja kudhi haji’ dengan laporan Mendes Pinto tentang Raja dari Kerajaan Aru
beragama Islam dan bergelar haji. Tentu saja pengaruh Islam pertama kali masuk
ke Nusantara di pelabuhan Barus sejak abad ke-7 dan menurut Mendes Pinto, Barus
adalah pelabuhan Kerajaan Aru di pantai barat Sumatra. Dalam hubungan ini yang
dalam literatur Eropa disebutkan Barus telah mengekspor kamper atau kapur barus
dan kemenyan sejak abad ke-5 atau ke-6 M. Pada fase inilah diduga munculnya
Kerajaan Aru yang berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit bertarih 682 yang mana isi
teks prasasti itu terdapat nama Minana yang dalam hal ini diduga kuat Binanga yang sekarang
sebagai pelabuhan di pantai timur (pelabuhan Kerajaan Aru) tempat dimana
ditemukan Prasasti Batugana. Jadi dalam hal ini awal Kerajaan Aru memiliki dua
pelabuhan yakni di pantai barat di Barus dan di pantai timur di Minana atau
Binanga. Masih dari catatan kuno di Eropa yang menyatakan bahwa Sumatra bagian
utara pada abad ke-2 sebagai kaya kamper.
Oleh karena itu,
Kerajaan Aru tidak hanya mampu menyerang kerajaan di hulu sungai Kampar (candi
Muara Takus), tetapi Kerajaan Aru yang kaya dengan produk kamper adalah
kerajaan besar sejak zaman kuno yang besar kemungkinan telah eksis pada abad
ke-2 dan mampu bertahan hingga kunjungan Mendes Pinto ke Kerajaan Aru pada
tahun 1537. Dalam hal ini candi Muara Takus di hulu sungai Kampar, nama sungainya
merujuk pada kata ‘kamper’, yakni pelabuhan produk kamper ke Sriwijaya dan
candi Manggis di hulu sungai Rokan, nama sungai yang merujuk pada kata ‘aru’
yang diartikan sebagai sungai seperti sungai B-aru-mun dan sungai Aroekan
(aru-kan) yang kemudian dieja oleh pelaut-pelaut Portugis menjadi Rokan. Pada
muara sungai Rokan inilah zaman doelo (pada era Majapahit) terdapat pelabuhan
Kerajaan Aru yang disebut pelabuhan Mandailing (sebagaimana dalam
Negarakertagama). Sebagaimana di Jawa, kerajaan yang kayalah yang mampu
membangun candi-candi.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.