Sejarah

Sejarah Sukabumi (40): Sejarah Gempa Bumi dan Bencana Alam di Sukabumi; Sejarah Letusan Gunung Api di West Java




false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Gempa terjadi karena disebabkan dua hal: proses vulkanik
dan proses geologi atau proses tektonik (pergeseran lempengan bumi). Gempa
akibat proses vulkanik di Soekaboemi sudah lama terjadi yakni meletusnya gunung
Salak (1699) dan meletusnya gunung Gede (1834). Namun gempa akibat proses
tektonik masih kerap terjadi bahkan belum lama ini dirasakan dan sempat
menimbulkan kepanikan di Sukabumi.

Upaya kita warga Sukabumi untuk merespon gempa adalah dengan cara
mengantisipasinya agar dampak yang ditimbulkan minimal–tidak tidak ada korban
jiwa. Peristiwa gempa sebagai kejadian yang berulang menjadi penting untuk
mencatat kembali kejadian-kejadian yang terjadi di masa lampau. Informasi ini selain
dapat memperkaya data badan/instansi terkait, catatan sejarah ini paling tidak
sebagai pengingat agar kita tetap waspada terhadap ancaman gempa bumi. Untuk
itu mari kita catat kejadian-kejadian gempa yang pernah terjadi di Soekabimi
berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini
adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Gempa Vulkanik Gunung
Gede di Soekaboemi
Kejadian
gempa yang terbilang kuat di Soekaboemi baru mulai tercatat pada tahun 1880
(lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-04-1880).
Disebutkan pada tanggal 20 Maret yang lalu pada pukul 5 pagi lewat 10 menit
terjadi guncangan horizontal yang cukup parah di ibu kota Sukabumi, yang
berlangsung sekitar 40 detik; Arah gempa itu dari barat ke timur. Kejadian
gempa pada waktu yang sama juga terjadi di ibu kota Tasikmalaja pada tingkat
yang lebih rendah.

Java-bode voor Nederlandsch-Indie, 15-04-1880

Ukuran gempa belum dicatat menurut skala metrik (skala Richter). Ukuran
gempa dicatat secara kualitatif dengan mendeskripsikan kapan dan dimana
terjadi, bagaimana gempa berlangsung (arah dan lamanya), seberapa besar
goncangannya dan seberapa luas dan seerapa banyak korban barang dan jiwa yang
ditimbulkannya. Ukuran-ukuran kualitatif ini dapat disatukan dan disimpulkan
seberapa kuat gempa tersebut.

Kejadian gempa di ibu kota Soekaboemi karena
arahnya dari barat haruslah dilihat bahwa goncangan gempa itu sudah barang
tentu terjadi di Tjibadak dan Palaboehan Ratoe yang boleh jadi kekuatannya
lebih besar dibandingkan di kota Soekaboemi. Seperti disebutkan di dalam berita
itu bahwa gempa yang terjadi cukup parah. Namun tidak dijelaskan seberapa besar
dampaknya apakah ada korban luka atau meninggal atau berapa buah rumah rusak
berat dan rusak ringan.

Sumatra-courant, 04-03-1886

Sumatra-courant: nieuws en advertentieblad, 04-03-1886: ‘Diumumkan oleh Residen Preanger
bahwa pada pagi hari tanggal 14 Februari, gunung api Gedeh membuat gemuruh yang
berat berulang-ulang dan pada sore hari pukul 2 lewat 8 menit di disttict
Tjitjoeroeg, sebuah goncangan gempa horizontal yang cukup keras dari gempa bumi
yang berhasil diamati yang berlangsung sekitar 5 hingga 6 detik yang arahnya
dari timur ke barat. Goncangan itu juga terasa di Sukabumi namun arah yang
benar tidak dapat ditentukan di lokasi itu.

Pada tanggal 14 Februari 1886 pada sore hari sekitar pukul dua penduduk
di district Tjitjoeroek dikagetkan oleh adanya goncangan gempa yang cukup keras.
Goncangan ini diduga kuat diakibatkan oleh gemuruh gunung Gede. Goncangan
gunung Gede ini juga dirasakan di kota Soekaboemi (lihat Sumatra-courant :
nieuws- en advertentieblad, 04-03-1886). Pada hari dan jam yang sama juga
diperoleh berita dari Residen Bantam bahwa guncangan vertikal yang cukup parah
dari gempa dirasakan di Goenoeng Kentjana (Afdeeling Lebak) yang berlangsung selama
2 hingga 3 detik (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 29-03-1886).
Catatan panjang kejadian gempa di Soekaboemi

Aktvitas
gunung Gede pernah terjadi pada tanggal 10 Oktober 1834 yang menyebabkan terjadi
gempa besar. Gempa ini menghancurkan Istana Buitenzorg. Gempa yang berpusat di
Mega Mendoeng, telah menimbulkan beberapa kawah di atas gunung Gede. Gempa yang
sangat dahsyat ini bahkan dirasakan hingga ke Lampoeng (Soematra) di sebelah
barat dan Tagal di sebelah timur. Bangunan yang terbuat dari batu hancur, rumah
yang terbuat dari kayu dan bambu terjungkal, jalan pos antara Buitenzorg dan
Tjiandjoer di sana sini mengalami keretakan parah yang menimbulkan longsor.
Demikian berita resmi dari pemerintah setelah sebulan kejadian sebagaimana
dilaporkan surat kabar Javasche courant, 22-11-1834. Di Depok dan sekitarnya
juga mengalami dampak yang besar. Bangunan yang terbuat dari batu landhuis
Tjilangkap, landhuis Krangan, landhuis Tjimangis dan landhuis Pondok Tjina
rusak berat dan runtuh sebagian. Sementara landhuis Tjiliboet, landhuis Pondok
Terong, landhuis Sawangan, landhuis Tjineri, landhuis Koeripan (Paroeng) dan
lainnya rusak ringan. Bagaimana dampak gempa tahun 1834 ini di Soekaboemi tidak
terlaporkan.  

Beberapa
bulan kemudian terjadi lagi gempa di wilayah yang saling berdekatan Batavia,
Banten dan Preanger (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 08-07-1886). Menurut laporan lebih lanjut dari Residen Batavia
dan Residen Bantam, gempa bumi yang diamati di tempat-tempat ibukota pada pagi
hari tanggal 29 Juni dan juga terasa di di Buitenzorg dan di Tangerang serta di
Lebak dan di Pandeglang dan Tjaringin. Di Buitenzorg, gempa bumi terdeteksi
pada sore hari tanggal 28 Juni sekitar jam setengah lima pagi. Gempa bumi pada
sore hari tanggal 28 Juni dan pada pagi hari tanggal 29 menurut laporan dari
Residen Preanger juga diamati di Soekaboemi. Goncangannya cukup parah di Soekaboemi.

Algemeen
Handelsblad, 11-08-1886

Bagaimana rincian gempa di Soekaboemi, seorang
pembaca di Tjibadak (antara Soekaboemi dan Tjitjoeroek) menulis yang dikirimkan
ke surat kabar di Batavia yang dilansir surat kabar di Belanda, Algemeen
Handelsblad, 11-08-1886, sebagai berikut: ‘Tanggal 28 Juni. Di sore jelang malam
hari sekitar pukul setengah enam gempa bumi ringan, dari arah timur ke barat.
Tanggal  29 Juni. Sembilan menit setelah
pukul sebelas pagi, gempa kuat yang berlangsung cukup lama dari arah timur ke
barat. Gerakannya sangat sengit sampai semua pendulum arloji berdiri diam. (Masih)
tanggal 29 Juni. Sekitar pukul lima sore hujan abu dari utara ke arah barat
laut. Tanggal 30 Juni. Muncul lapisan debu yang tertutup. (pada kolom lain) Guncangan
gempa yang diamati pada hari-hari terakhir di bagian barat Jawa telah
dikomunikasikan kepada kami dengan itikad baik, setelah meletusnya gunung Gede
pada hari Selasa, saat guncangan besar dirasakan di Batavia dan kemudian
diikuti oleh hujan abu di Sukabum, letusan terjadi pada jam empat sore. Awan
besar naik dari puncak gunung (Gede). Sekarang semuanya tenang, tetapi membuat
para tetangga(kita tetap) khawatir. Mereka lebih suka melihat awan biasa di
sekitar puncak gunung berapi, karena pengalaman telah mengajarkan kepada mereka
bahwa (gunung) Gede benar-benar diam dan tidak berasap, yang mana biasanya
diikuti oleh gempa bumi dan letusan’.

Sebulan kemudian juga dirasakan goncangan gempa di Rangkas Bitoeng dan
Tangerang (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 17-07-1886). Disebutkan goncangan gempa ini ringan (tidak
sehebat bulan sebelumnya). Meski demikian, gempa tetaplah gempa, berat atau
ringan tetap menimbulkan trauma di tiga residentie (Banten, Batavia dan
Preanger). Kembali terjadi gempa di Tjitjoeroek pada tanggal 8 bulan September pukul
6 pagi lewat 45 menit terjadi guncangan horizontal dari gempa yang diamati
(lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
22-09-1886).
Gempa selalu menjadi perhatian serius bagi pemerintah
terutama di Residentie Batavia dan Residentie Banten serta Residentie Preanger,
sehingga setiap kejadian langsung dikomunikasikan. Memang kejadian gempa kerap
terjadi, tetapi kejadian meletusnya gunung Krakatau masih segar dan belum
terlupakan. Gunung Krakatau meletus tahun 1883 yang menyebabkan tsunami dan
menimbulkan korban jiwa ribuan orang. Tsunami gunung Krakatau tersebut
dirasakan di Batavia. Besarnya dampak letusan gunung Krakatau tidak hanya
menimbulkan tsunami yang menghempaskan kapal di pelabuhan Tandjong Karang ke
daratan juga debu vulkanik dari Krakatau ini bahkan sampai menutupi kota
Batavia sehingga semua warga harus menyalakan lampu. Singkatnya meletusnya
gunung Gede (1834) dan gunung Krakatau (1883) telah membuat pemerintah dan penduduk
menjadi selalu trauma jika ada muncul gempa.
Tunggu deskripsi lengkapnya

Gempa Besar di Soekaboemi, 1900

Mengawali abad baru, redaksi surat kabar di
Soerabaja menerima telegram pemberitahuan dari Soekaboemi telah terjadi gempa
(lihat Soerabaijasch handelsblad, 11-01-1900). Berita singkat ini hanya
dianggap angin lalu. Tidak ada surat kabar yang memperdalam berita ini. Oleh
karenanya kapan gempa tersebut terjadi di Soekaboemi tidak dikerahui secara
jelas. Lagi pula si pengirim berita tidak menyebut secara rinci gempa di
Soekaboemi tersebut. Berita gempa di Soekaboemi baru dilaporkan oleh surat
kabar yang terbit di Batavia, Bataviaasch nieuwsblad, 15-01-1900. Disebutkan
bahwa kemarin malam (15 Januari 1900) terjadi gempa di Soekaboemi. Berita
singkat Soerabaijasch handelsblad, 11-01-1900 tampaknya menjadi gempa pendahulu
sebelum terjadi gempa besar pada tanggal 14. Bataviaasch nieuwsblad, 15-01-1900
menghimpun telegram yang diterima redaksi.
Bataviaasch
nieuwsblad, 15-01-1900: ‘Gempa bumi. Bandoong 15 Januari. Kemarin malam pukul 11
ada gempa. Telegram-1. Di Tjiandjoer, gempa bumi diamati dari pukul 11 hingga pukul
4. Jalur rel antara Karangtungga dan Chibeber rusak; rel ditekuk dan bangunan halte.stasion
runtuh. Lalu lintas mungkin akan diblokir lagi untuk waktu yang lama. Telegram-2.
Bagian/ruas Tjibadak dan Karantengah juga tidak dapat digunakan. Kereta ekspres
tidak dapat melanjutkan dan akan berangkat dari Tjandjoer sebagai terminal.
Terowongan Lampegan terbelah. Guncangan masih berlanjut di Soekaboemi. Beberapa
rumah dan rumah pribadi retak dan tidak dapat digunakan. Telegram ke-3.
Guncangan terasa di Sukabum, gempa begitu kejam sehingga semua penduduk telah
meninggalkan rumah. Sejauh ini tidak ada korban luka maupun korban jiwa.
Menurut sebuah laporan, Hotel Victoria dan Sela Batu telah hancurkan sebagian. Telegram
lainnya hanya berbicara tentang kerusakan yang signifikan. Semua hotel dan
rumah telah ditinggalkan; orang-orang menggunakan pondokan bambu. Pemulihan
mengenai kerusakan sampai saat ini hanya di West Preanger. Surat yang dikirim dari
Weltevreden mengatakan bahwa komunikasi antara Soekaboemi dan Tjiandjoer rusak,
stasion telegrafik Sukaboemi rusak parah, stasiun Tjibeber runtuh. Penumpang
dari sini ke arah Batavia, dari Lampegan mereka harus mencoba untuk melakukan sendiri.
Dari Buitenzorg memberitahukan akibat gempa bumi ini telah terjadi kerusakan di
enam tempat, diantaranya ada yang panjang hingga 200 meter. Ada hambatan dalam
transportasi kereta antara tempat-tempat tersebut.    
Gempa Soekaboemi (dan Tjiandjoer) ini sangatlah
besar. Tidak ada berita-berita pada tahun-tahun sebelumnya yang memiliki dampak
seperti yang sekarang. Banyak rumah penduduk hancur dan juga rumah-rumah batu
yang dimiliki oleh orang Eropa/Belanda. Gedung-gedung umum seperti
stasion/halte rubuh dan hotel-hotel retak. Satu hal lagi adalah teroeongan
Lampengan terbelah. Gambaran ini mengindikasikan kekuatan gempa tersebut sangat
besar.
Pada
kolom lain Bataviaasch nieuwsblad, 15-01-1900 menyebutkan bahwa menurut sebuah
pernyataan dari observatorium meteorologi, guncangan ini terdeteksi oleh semua tempat
observasi meteorologi. Sebagian besar instrumen di tempat-tempat tersebut menunjukkan
arah gempa dari timur ke barat dan satu menunjukkan arah dari utara ke selatan.
Bataviaasch nieuwsblad, 15-01-1900 tidak bisa menyiarkan semua telegram yang
masuk karena jumlahnya ratusan. Namun ada satu surat telegram yang masuk pada
hari kemarin (sebelum kejadin gempa tengah malam). Telegram tersebut berasal
dari Soekaboemi. Isinya adalah sebagai berikut: ‘Tuan Editor yang Terhormat!
Terlihat bahwa hingga saat ini belum ada surat kabar harian yang melaporkan
bahwa telah terjadi ketegangan selama lebih dari sepuluh hari di Soekabumi
dengan guncangan yang terputus-putus, gempa bumi yang parah, kadang-kadang
hingga 10 kali lipat dan suatu hari suara-suara berderik dan berderak diamati khawatir
penghuni rumah batu lalu meninggalkan rumah untuk sementara waktu atau telah
mengambil tindakan pencegahan sementara gempa itu sendiri belum dijelaskan. Apa
yang lebih mencolok adalah bahwa tidak ada surat kabar harian yang coba mencari
tahun tentang apa yang dialami oleh penduduk Soekaboemi. Surat ini seakan
menjelaskan sendiri mengapa berita singkat yang ditemukan pada Soerabaijasch
handelsblad, 11-01-1900 tidak ada respon dari berbagai pihak termasuk media
surat kabar.  
Dari informasi ini dapat disimpulkan bahwa pusat
gempa diduga kuat berada di sekitar gunung Gede (gempa vulkanik). Oleh karena
arahnya dari timur ke barat dan dari utara ke selatan, goncangan ini hanya
dirasakan di Soekaboemi dan Tjiandjoer. Boleh jadi orang berada di Buitenzorg
dan Batavia tidak merasakannya.
Untuk
sekadar catatan, pada masa ini di berbagai tulisan disebutkan bahwa telah
terjadi gempa di Sukabumi pada tahun 1903. Gempa Sukabumi tersebut disebut bermagnitudo
8.1 SR. Disebutkan penyebabnya karena megathrust segmen Pelabuhan Ratu pecah.
Juga disebutkan bahwa gempa 1903 adalah gempa terakhir yang tercatat di BMKG.
Lantas mengapa kejadian gempa di Soekaboemi tahun 1900 tidak diinformasikan.
Sebaliknya di dalam semua surat kabar sejaman tidak ditemukan berita gempat
bumi yang hebat di Soekabioemi yang terjadi tahun 1903. Sejauh ini gempa bumi
yang besar yang tercatat pada era kolonial Belanda adalah gempa bumi yang
terjadi tahun 1900.

Tunggu deskripsi lengkapnya

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top